Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

22 Januari 2010

Daftar pemain bulutangkis tingkat dunia


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Berikut adalah daftar pemain bulutangkis terkenal.
[sunting] Pemain yang sudah pensiun
[sunting] Pemain yang masih bermain


19 Januari 2010

Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi

    Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
    Introduksi
         Demokratisasi merupakan tema sentral perubahan ekonomi-politik dunia dewasa ini, yang didalamnya tercakup berbagai persoalan yang saling berkait satu sama lain. Sebagai suatu tema sentral, demokratisasi telah menjadi objek studi yang sangat luas rentang pembahasannya. Ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba, 1984; Harrison dan Huntington, 2000), model dan bentuk baru demokrasi (Held, 1986 dan 1999; Dahl, 1999), masalah-masalah civil-society (Diamond, 1992), masalah civilian supremacy upon military (Huntington, 1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000), tingkatan modenisasi-demokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.), 1990; International IDEA,  2001), pilihan strategi-strategi demokrasi (O’Donnell, Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’Donnell dan Schmitter, 1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz and Valenzuela (eds.), 1994), dan lain-lain. Selain itu, kegiatan studi yang serius dalam membentuk suatu teori demokrasi terus dilakukan oleh para scholar dalam rangka menemukan jati diri demokrasi yang sejati. Kegiatan tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya indikasi pergeseran fokus analisis dari negara (state) ke sisi sisi masyarakat (society). Dari banyak tulisan yang membahas persoalan demokratisasi, tampak bahwa para ilmuwan politik menaruh perhatian yang sangat besar pada pengembangan kekuatan masyarakat sebagai prasyarat berkembangnya sebuah paham demokrasi. 
         Pengembangan kekuatan masyarakat dapat dilakukan, misalnya dengan: mengeluarkan perwira-perwira militer yang ikut serta dalam persoalan sosial-politik ranah-ranah kelompok sipil; pembentukan sistem kepartaian yang mendukung terhadap berkembang dan berdayanya sistem parlementer guna terwujudnya pertanggungjawaban (responsibility) dan pertanggunggugatan (accountability)—politik—pada masyarakat; atau membuka keran-keran partisipasi seluas mungkin agar tuntutan dan dukungan warga dapat teragregasi dengan maksimal. Selain itu, mulai dikembangkannya otonomi partisipasi yang (mungkin) selama ini selalu dimobilisasi; penguatan supremasi hukum; dan seterusnya.  Dalam konteks ini asumsinya terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastis dari state-centered development menuju society-centered development, atau sering pula diistilahkan dengan people-centered development. Tetapi perlu juga diingat, Huntington (1965) pernah berargumentasi dalam artikelnya “Political Development and Political Decay” yang menjelaskan pada kita bahwa di banyak negara berkembang, masyarakat justru semakin kehilangan kekuatannya. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang dalam hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu memaksa pemerintahannya untuk tunduk terhadap kepentingan warga masyarakat. Oleh karena itu, asumsi teori modernisasi yang menyatakan bahwa negara hanyalah pelaksana dari keinginan sosial-ekonomi-politik mayoritas warganya tidak selamanya benar.
         Bila merujuk pada dilema seperti yang tersebut di atas, memori kita dengan kuat kemudian mengingat tulisan Thomas Kuhn (1970) mengenai The Structure of Scientific Revolution yang melihat keilmuan pun mengalami siklus rasionalitas dan otoritas. Maksudnya, bahwa rasionalitas dan otoritas sains pada dasarnya merupakan konsensus para ahli daripada produk sebuah metode penelitian yang serba logis, objektif, dan taat metodologi. Oleh karenanya, elemen-elemen lain di luar rasionalitas dan objektivitas, seperti irasionalitas dan subjektivitas mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ilmu. Untuk memperkuat argumentasinya Kuhn membuat tiga konsep yang secara analitis sangat kuat dalam melihat siklus rasionalitas dan otoritas kelimuan, yaitu: paradigma, normal-sains, dan anomali.
    Menurut Thomas Kuhn, ilmu (pengetahuan) dalam siklus (evolusi) pertumbuhannya berada dalam suatu “otoritas” paradigma tertentu, yang untuk sementara dapat didefinisikan sebagai “pencapaian-pencapaian ilmiah” yang secara universal diakui validitasnya untuk suatu kurun waktu tertentu, dan memberikan model/strategi/kerangka-kerja serta suatu pemecahan bagi suatu keilmuan tertentu. Di bawah otoritas dan paradigma tertentu itulah suatu sains-normal (normal sciences) dalam pemahaman konteksnya dilihat sebagai suatu periode dimana penemuan-penemuan keilmuan terjadi. Sains-normal ini (sebagai riset yang telah didasari pada suatu pencapaian ilmiah) pada masa lalu oleh beberapa ilmuwan telah diakui memberikan landasan untuk mengembangkan keilmuan selanjutnya. Dalam periode ini, ilmuwan bekerja untuk mengartikulasi dan memperluas paradigma yang sedang “berkuasa”. Karena penekanannya pada paradigma yang normal, maka anomali—berupa fenomena atau hal-hal lain yang tidak dapat diterangkan oleh “paradigma dominan”—cenderung untuk diabaikan; namun hal ini berkembang terus. Anomali yang terus berkembang dan meluas ternyata menghasilkan sejumlah kesangsian kritis terhadap paradigma-sains- normal yang sedang berkuasa. Keadaan ini, diistilahkan Kuhn, sebagai krisis keilmuan, suatu situasi dimana ilmuwan tidak dapat lagi menggantungkan kerangka-kerja/model/strategi serta pemecahan pada otoritas sains-normal yang tersedia. Dalam periode ini juga asumsi-asumsi dan premis-premis yang mendasari beroperasinya sains-normal dipertanyakan ulang. Krisis keilmuan akhirnya memperlemah ikatan-ikatan teoretis yang mereka anut, dan akhirnya memunculkan alternatif-alternatif paradigma baru.  Yang selanjutnya, alternatif-alternatif paradigma baru ini berebut otoritas (pengaruh) untuk menjadi dominan. Ketika terjadi pemilihan atas satu alternatif paradigma baru, maka satu putaran siklus keilmuan terjadi. 
         Oleh karena itu, demokrasi sebagai akar demokratisasi turut memberikan argumen definisinya sesuai dengan paradigma serta sains-normal yang tengah dominan. Karenanya, dalam makalah singkat ini pun akan dibahas beberapa teori demokrasi dan demokratisasi guna menjelaskan suatu proses perubahan ke arah perubahan dari state-centered menuju society-centered.    
    Perihal Demokrasi dan Demokratisasi
         Sebagaimana siklus Kuhnian di atas, tekanan analisis demokrasi bergeser dari tingkat negara ke masyarakat, dan kembali bergeser ke negara lagi (pada awal tahun ‘70-an) setelah masyarakat mendapat banyak kritikan[1]. Para pengritik teori modernisasi melihat bahwa ternyata negara juga mempunyai otonomi yang (relatif) besar. Negara bukan sekedar pelaksana kebijakan politik mayoritas masyarakat atau penengah konflik semata, tetapi justru seringkali dapat bertindak otonom dan aktif dalam menentukan dinamika perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hankam. Dari titik balik ini, negara kemudian dipandang olah para analis sebagai variabel pemilah bagi berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya menyangkut demokratisasi. 
         Dalam kaitan inilah kemudian muncul model Negara Otoriter-Birokratik (NOB) yang diintroduksi oleh Guillermo O’Donnell (1973), yang kemudian menjadi kerangka pemikiran baru bagi banyak ilmuwan politik dalam memandang demokratisasi di negara-negara berkembang.  Negara atau state, sebagai suatu konsep politik (yang sudah) lama kembali tampil dengan kemasan baru yang mampu menggeser konsep politik kontemporer, seperti political system-nya David Easton yang dikreasi untuk menghindarkan analisis politik dari kekakuan-kekakuan institusional yang legal-formal. 
         Pada pertengahan 1980-an kajian pembangunan demokrasi bergeser pada perdebatan demokratisasi dan reformasi yang berorientasi pasar (market-oriented reform) dalam proses global.  Diskursus ini sekaligus menandai siklus paradigma baru, sesudah mengalami warna demokratisasi yang pesimistik dan konservatif pada tahun 1970-an.  Seiring dengan runtuhnya otoritarianisme dan tegaknya demokrasi di Portugal, Spanyol, Yunani, dan kemudian pada awal dan pertengahan 1980-an di Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Filipina dan beberapa negara lain (Huntington, 1991), agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dengan warna market. Apalagi dengan runtuhnya Uni Soviet dan beberapa negara komunis di Eropa Timur akhir 1980-an, kajian demokratisasi menjadi semakin bergairah dengan sudut pandang yang semakin berdiaspora. Adam Pzeworski (1991), misalnya, menggunakan konsep baru hardliners dan softliners dalam menganalisis kejatuhan rezim otoritarian. Diikuti Samuel Huntington (1991) yang menjelaskan diskursus demokratisasi gelombang ketiga yang ditekankan pada tahap-tahap transisi. Kemudian, Donald Share dan Scott Mainwaring (1986) yang menawarkan pendekatan transaksional dalam proses demokrasi antara kelompok pembaharu dan kelompok oposisi, yang kesemuanya tetap dikontrol oleh pemimpin berkuasa.  Hingga Robert Dahl (1999) yang memaparkan demokrasi ideal dan demokrasi aktual. 
         Kebangkitan kembali tema society-centered dalam konteks demokratisasi mendorong terjadinya pergeseran analisis. Namun kali ini konseptualisasi mengenai institusionalisasi yang dianggap mewakili masyarakat tidak terbatas pada partai politik semata, tetapi juga telah melibatkan aktor lain seperti non-governmental organizations (NGO’s), asosiasi-asosiasi sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga lokal, dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks yang baru ini merupakan bagian dari penguatan civil-society yang dianggap secara signifikan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap berdirinya demokratisasi (Hadiwinata, 2003 dan Keane, 1988).  Hal ini banyak ditunjukkan oleh berbagai studi yang menyatakan bahwa aktor masyarakat—di luar partai politik—mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan secara menggurita dan bergelombang. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada tahun 1990-an studi yang menyelidiki kekuatan civil-society  secara luas mendapat tempat dalam agenda-agenda penelitian ilmu politik dan demokratisasi.
         Membahas perihal demokratisasi dalam ranah ilmu politik dapat dilihat melalui berbagai pendekatan ilmiah, mulai dari pendekatan struktural, pendekatan elite, pendekatan behavioral, hingga pendekatan sistem. Namun sebelum jauh melangkah, ada baiknya kita mengupas dulu secara etimologis apa itu “demokratisasi”. Yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan transisi menuju demokrasi dengan menggunakan pendekatan tersebut di muka secara acak. 
    Secara sederhana, definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti—secara sederhana—pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.  Dalam arti yang (relatif) agak luas, demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola, dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan. Oleh karena demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada daulat rakyat, maka nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun daulat militer musti disingkirkan. 
         Dalam literatur ilmu politik (modern) disebutkan ada beberapa ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis, diantaranya:  
     Pertama, adanya partisipasi politik yang luas dan otonom; demokrasi pertama-tama mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi bagi siapa pun—baik individu maupun kelompok—secara otonom. Tanpa perluasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti sebagai jargon politik semata. Oleh karena itu, elemen pertama dalam sebuah sistem politik yang demokratis ialah adanya partisipasi politik yang luas dan otonom. 
     Kedua, berwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan-politik (partai politik) atau kekuatan-sosial-kemasyarakatan (kelompok kepentingan dan kelompok penekan) diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk saling berkompetisi secara adil sebagai corong masyarakat, baik dalam pemilihan umum atau  dalam kompetisi sosial-politik lainnya.  
      Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga dengan bersih dan transparan—khususnya melalui proses pemilihan umum.
      Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif, juga berwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Serta,
      Kelima, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati (bersama) dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. 
              Robert Dahl (1999) dalam bukunya On Democracy menjelaskan juga bahwa demokrasi musti  membutuhkan kondisi-kondisi awal yang memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri, yaitu: 1) adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; 2) kebebasan berpendapat; 3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan beralternatif; 4) adanya otonomi asosiasional; 5) dibangunnya pemerintahan perwakilan; dan 6) adanya hak warganegara yang inklusif. Lain dari itu, sistem politik yang demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti: pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam horison bernegara dan berbangsa. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan) terhadap supremasi hukum dalam masyarakat. Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat dimintai pertanggunggugatannya.
              Menurut Samuel Huntington (1991) proses demokratisasi yang tengah berlangsung di negara-negara di dunia ini bergerak dalam beberapa gelombang. Yang mana gelombang terakhir demokratisasi tersebut—gelombang ketiga demokratisasi—terjadi sejak tahun 1974 sampai dengan sekarang. Secara sederhana Huntington menggambarkan gelombang-gelombang demokratisasi dalam bentuk kuantitas negara—sepanjang abad XX. Dan, disela-sela gelombang-gelombang demokratisasi tersebut, menurutnya, terjadi arus balik, yaitu berlangsungnya proses penguatan kembali otoritarianisme dan/atau totaliterianisme. Gelombang dan arus balik ini mengalami pasang-surut kuantitas negara pengikutnya (lihat tabel 1).
    Tabel 1. Gelombang Demokratisasi Menurut Huntington
    Tahun
    Jumlah Negara Demokratis
    Jumlah Negara
    Non-demokratis
    Jumlah Negara di Dunia
    Gejala




    1922
    29
    35
    64
    Gelombang 1




    1942
    12
    49
    61
    Arus Balik 1




    1962
    36
    75
    111
    Gelombang 2




    1973
    30
    92
    122
    Arus Balik 2




    1990
    58
    71
    129
    Gelombang 3




    Sumber: Huntington (1991).
                Gelombang ketiga demokratisasi, lanjut Huntington, menjadi masa pertumbuhan yang paling subur di antara gelombang lainnya, oleh karena proses menuju demokrasi itu berjalan seiring dengan globalisasi (proses pengglobalan dunia). Melalui globalisasi—adanya kemudahan akses informasi, komunikasi, transportasi, hingga pencabutan ruang atas waktu (time-space distanciation, dalam istilah Anthony Giddens)—dunia menjadi sebuah global village ‘perkampungan dunia’. Yang implikasinya apabila terdapat katastropi politik di satu negara, maka akan dengan mudah terlihat oleh warga masyarakat internasional lainnya secara instan dalam hitungan detik. Oleh karena itu, dalam konteks politik, sering dikatakan bahwa globalisasi merupakan wahana bagi penyebaran virus demokrasi—meminjam istilah Francis Fukuyama—ke seluruh antero dunia. 
    Merujuk (kembali) pada Huntington, proses menuju demokrasi, paparnya, dapat berlangsung dalam empat skenario besar. Skenario pertama, disebut dengan istilah transformasi (reforma atau transaction dalam istilah Juan Linz dan Alfred Stepan serta Donald Share dan Scott Mainwaring), yakni proses menjadi demokrasinya suatu negara—yang awalnya otoriter atau totaliter—dengan dimotori dan dikendalikan oleh pihak yang berkuasa—perubahan dari atas. Dalam skenario ini demokratisasi terjadi sebagai konsekuensi atas terjadinya perubahan dalam rezim berupa pemihakan terhadap konsep demokratisasi itu sendiri. Oleh karena itu, elite-rezim berkuasa amat menentukan dalam mengakhiri rezimnya sendiri dan mengubahnya menjadi sebuah sistem politik yang demokratis. Skenario kedua, disebut dengan istilah replacement, penggantian rezim (ruptura atau collapse dalam istilah Linz dan Stepan serta Share dan Mainwaring).  Dalam bagian ini demokratisasi terjadi melalui runtuhnya kekuasaan rezim lama yang kemudian digantikan oleh rezim yang (benar-benar) baru, dan prodemokrasi. Dalam konteks ini perubahan terjadi karena penguasa dalam rezim mengalami pelemahan-pelemahan (decaying) dari dalam, sehingga berhasil dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mengalami penguatan-penguatan.
              Skenario ketiga, disebut dengan istilah transpalecement (extrication dalam istilah Linz dan Stepan), yakni proses menuju negara yang demokratis sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang mengalami penguatan-penguatan—melalui people power, misalnya—serta adanya dorongan dari faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim yang tengah berkuasa. Lalu, gerakan di luar dan faksi prodemokrasi di dalam rezim bersekutu serta mengendalikan proses demokratisasi, sebagai perwujudan kontrak sosial baru. Dalam konteks ini kelompok oposisi tak sekuat seperti dalam skenario replacement—untuk menggulingkan rezim pro-status quo—sehingga mereka memilih untuk berkolaborasi/bernegosiasi dengan faksi-faksi prodemokrasi di dalam rezim berkuasa. Dan skenario terakhir, keempat, disebut dengan istilah intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh ikut sertanya pihak luar—negara lain—dalam atau dengan menjatuhkan rezim yang tengah berkuasa.
    Hampir serupa dengan apa yang dijelaskan oleh Huntington tersebut di atas, Gerado Munck dan Carol Leff (1997) memaparkan hal serupa dengan contoh-contoh kasus di beberapa negara Amerika dan Eropa. Lebih lanjut, menurut Munck dan Leff, transisi menuju demokrasi (demokratisasi) akan dipengaruhi oleh identitas pelaku perubahan serta strategi yang digunakan oleh mereka. Oleh karena itu, ada kemungkinan demokratisasi akan didorong oleh elite yang tengah berkuasa, atau oleh kelompok oposisi, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan pada aspek identitas dan strategi tersebut, maka Munck dan Leff mengajukan tipologi transisi sebagai berikut:
         Pertama, reformasi dari bawah, proses transisi menuju demokrasi ini digerakkan oleh kelompok di luar elite berkuasa (penentang elite), melalui perjuangan yang bergerak dalam kerangka hukum yang ada dan tersedia. Model seperti ini sangat jarang terjadi, dan hasilnya pun tidak menjamin terbentuk sistem poltiik yang sepenuhnya demokratis, sebab, kekuatan rezim lama dalam beberapa hal masih sangat kuat yang mungkin dapat menghambat terhadap penerapan demokratisasi. Namun demikian refomasi dari bawah ini pernah terjadi di Chile menurut mereka.  
         Kedua, reformasi melalui transaksi. Seperti di Brazil dan Polandia, demokratisasi terjadi karena elite penguasa tidak lagi memiliki cukup kekuatan untuk melawan dan memberangus kekuatan kelompok prodemokrasi, sehingga terjadi negosiasi di antara kedua kekuatan tersebut untuk akhirnya melaksanakan suatu sistem politik yang demokratis.  Walaupun pada awalnya kelompok prodemokrasi mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pemerintah, namun akhirnya konfrontasi antara kedua kekuatan ini berakhir dengan akomodasi yang positif terhadap berwujudnya iklim demokratis.
         Ketiga, refomasi melalui ekstrikasi (extrication). Sebagaimana yang terjadi di Hungaria, transisi menuju demokrasi melalui ekstrikasi dilakukan dengan cara yang eklektik, yakni dengan kerangka negosiasi antara kelompok oposisi dan kelompok berkuasa yang kemudian masing-masingnya mempunyai kesediaan untuk membuka diri dan menerima kekurangan, serta mengakumulasi kelebihan mereka bersama guna kebaikan seluruh warga-negara. Oleh karena itu, proses ini tidak berlangsung secara rumit. Hal ini terwujud sudah barang tentu karena kedua belah pihak memiliki orientasi yang sama terhadap perubahan negara-bangsa.
         Keempat, reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, yang pernah terjadi di Argentina, adalah akibat lanjut dari kekalahannya dalam perang Malvinas yang menyebabkan kelompok-kelompok dalam masyarakat akhirnya mengambil alih kekuasaan dalam politik. Juga transisi menuju demokrasi yang berlangsung Chekoslovakia dipicu oleh merebaknya mobilisasi rakyat sebagai respon represi rezim terhadap demonstrasi mahasiswa pada November 1989. Pada kasus reformasi melalui keruntuhan atau perpecahan, rezim berkuasa tidak mampu menghadapi kekuatan perubahan dari masyarakatnya, dan strategi konfrontasi yang dijalankan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi berhasil me-lengser-kan penguasa lama.
         Kelima, reformasi konservatif, yaitu suatu perubahan ke arah demokrasi yang dilakukan oleh elite berkuasa akibat dari “kesadaran elite” dengan mengakomodasi semua kebutuhan yang diperlukan oleh suatu sistem politik demokratis.
         Keenam, revolusi sosial, ialah suatu gerakan warga yang digagas di luar rezim dengan cara/strategi konfrontasi. Kasus Filipina adalah contoh bagaimana revolusi sosial dapat menyumbangkan demokrasi di negara itu.  
         Ketujuh, revolusi dari atas, sebagaimana kasus Bulgaria terjadi karena faktor eksternal, yaitu runtuhnya komunisme.  Ketika Uni Soviet jatuh, elite pemerintah Bulgaria yang prodemokrasi melakukan penggeseran “elite-elite tua”—yang ketika itu pro-Moskow, sehingga pimpinan puncak diambil oleh elite-elite yang lebih muda, yang mempunyai jiwa demokratis.
              Teori demokratisasi Donald Share (1987) memberikan gambaran yang agak berbeda mengenai jalannya transisi menuju demokrasi. Pola transisi demokrasi-nya Share didasarkan pada dua kriteria umum, yakni jangka waktu berlangsungnya proses demokratisasi serta keterlibatan pemerintah yang tengah berkuasa dalam mewujudkan demokrasi.
    Pertama, demokrasi secara bertahap, yaitu suatu demokratisasi yang dilakukan secara bertahap (gradual) dengan melibatkan rezim berkuasa. Demokratisasi bertahap ini pernah berlangsung di beberapa negara Eropa Utara.
    Kedua, transisi melalui perpecahan, yaitu demokratisasi yang berlangsung akibat perpecahan di dalam tubuh rezim berkuasa—sehingga tidak melibatkan elite penguasa—yang dibarengi oleh transisi yang amat cepat. Perpecahan dalam tubuh rezim berkuasa, menurut Share, dapat disebabkan adanya kudeta dari kalangan elite militer atau polisi, keruntuhan rezim akibat kalah perang, adanya revolusi yang digerakkan oleh kelompok-kelompok prodemokrasi, atau rezim secara tiba-tiba kehilangan legitimasinya dan segera menyerahkan kekuasaannya pada kekuatan oposisi demokratis (ekstrikasi).
    Ketiga, transisi melalui transaksi, yaitu demokratisasi yang berjalan dengan cepat dengan melibatkan rezim berkuasa. Untuk menjalankan proses dibutuhkan sejumlah persyaratan khusus yang mungkin sulit dipenuhi dalam banyak kasus rezim otoriter. Persyaratan yang mungkin paling sulit ialah adanya kehendak politik (political will) dari rezim otoriter untuk mengambil inisiatif ke arah reformasi politik yang mendukung transisi menuju demokrasi. Ini tentunya berlawanan dengan nilai serta norma yang terkandung dalam jiwa status-quo rezim berkuasa. Dan,
    Keempat, transisi melalui perjuangan revolusi. Dalam konteks ini transisi menuju dmeokrasi dijalankan dengan bertahap dan tidak melibatkan pemimpin rezim.
              Melihat jalannya demokratisasi yang tertuang dalam beragam teori tersebut di atas, bukan berarti proses menuju demokrasi akan dimulai sesederhana seperti dalam kata-kata dan berhenti begitu saja. Ia memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dijajaki sebelum sampai pada kondisi yang diidamkan. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam meniti proses demokrasi.
    Tahapan pertama, berjalan sebelum keruntuhan rezim otoriter. Dalam tahap ini biasanya terjadi kombinasi diantara beberapa hal sebagai berikut:
    1. lahirnya kritisisme dari luar rezim-berkuasa yang terbangun secara gradual dan semakin menguat;
    2. rezim-berkuasa mengalami perpecahan internal;
    3. kelompok militer atau angkatan bersenjata pun mengalami perpecahan dan/atau perubahan orientasi politik;
    4. rezim-berkuasa menghadapi krisis ekonomi dan/atau politik yang semakin sulit dikendalikannya; dan 5) berkumandangnya tuntutan perubahan yang semakin kuat.  Tahapan ini biasanya disebut dengan istilah tahapan pratransisi. 
    Tahap kedua, adalah tahap terjadinya liberalisasi politik awal, yang dicirikan dengan: 
    1. Jatuh dan/atau berubahnya rezim-berkuasa; 
    2. Meluasnya hak-hak politik rakyat melalui wadah political-rights dan civil-liberties
    3. Terjadinya ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability);
    4. Terbentuknya ketidakpastian dalam banyak hal; dan 
    5. Terjadinya ledakan partisipasi politik publik. Biasanya tahap ini ditutup dengan terjadinya pemilihan umum yang demokratis dan pergantian pemerintahan sebagai konsekuensi logis dari hasil pemilihan umum tersebut. 
    Tahap ketiga, demokratisasi dikenal dengan istilah transisi. Tahapan ini berlangsung dengan telah berwujudnya pemerintahan baru yang bekerja dengan legitimasi yang memadai, atau bahkan kuat. Di bawah pemerintahan baru inilah kemudian dilakukan penataan ulang terhadap seluruh perangkat yang menyokong sistem politik, sosial, dan ekonomi. Penataan ulang terhadap perangkat sistem yang ada dalam negara—seperti tersebut di muka—akan berkait dengan pergantian para pelaku yang nondemokratis atau nonreformis, tumbuhnya lembaga atau institusi baru, terjadinya perubahan dan pergantian peraturan berikut mekanisme kerja, serta perubahan kebudayaan ke arah kultur yang lebih demokratis. 
    Tahapan terakhir, keempat, dalam proses menuju negara yang demokratis adalah konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan ini, demokratisasi, ditandai oleh banyaknya orang baru dan bersih dalam pemerintahan; adanya aturan—termasuk konstitusi—yang sudah diperbaiki; hingga berubahnya cara berpikir, perilaku, serta budaya lama ke arah cara-cara baru yang demokratis.
    Namun demikian, tidak semua proses di atas bisa selalu berhasil dengan mulus. Ada  beberapa negara yang berhasil melewati masa pratransisi dengan baik, namun kemudian gagal setelah memasuki tahap liberalisasi politik awal. Ada pula negara-negara yang berhasil dalam tahap liberalisasi politik awal, tetapi gagal menjalani tahap transisi, dan ironisnya mereka kembali ke sistem politik lama. Ada juga negara yang berhasil menjalani tahapan transisi, tapi gagal menjalani tahap konsolidasi-demokrasi. Jadi, pendek kata, proses demokratisasi merupakan sesuatu yang tidak mudah dan butuh kesungguhan, konsistensi, serta kesabaran yang memadai.
    Konklusi
              Paham demokrasi (demokratisme) sama sekali tidak bisa menjamin bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankannya akan bahagia, makmur, damai, dan adil. Pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang paling demokratis, tak akan mampu memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut di muka. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan (Snyder, 2003).
               Terlepas dari cacat demokrasi, bagaimanapun juga kita harus terus memandang berbagai keuntungan yang membuat terus demokrasi diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa demokrasi begitu marak ingin diwujudkan hingga saat ini. Setidaknya, menurut Robert Dahl (1999),ada sepuluh keuntungan demokrasi dibandingkan sistem politik lainnya, yaitu:
    1. Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik; 
    2. Demokrasi menjamin bagi warganegaranya dengan sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem yang nondemokratis; 
    3. Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warganegaranya daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan; 
    4. Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasar mereka;
    5. Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih baik daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan; 
    6. Hanya pemerintahan yang demokratis  yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri; 
    7. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggungjawab moral; 
    8. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan tingkat persamaan politik yang relatif tinggi; 
    9. Negara-negara demorasi perwakilan modern tidak berperang satu dengan lainnya; serta 
    10. Negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang nondemokratis. []